Home Berita Penelusuran Sejarah Maritim Po Adam Aceh & AS

Penelusuran Sejarah Maritim Po Adam Aceh & AS

0

Di pesisir barat selatan Aceh, tepat di antara gelombang Samudra Hindia yang membawa aroma lada dan rempah-rempah khas, terdapat sebuah pelabuhan strategis yang berperan penting di sepanjang Pantai Barat Aceh, yaitu Pulau Kayu atau disebut lokal sebagai “Pulo Kayee”. Letaknya yang strategis di sekitar muara Krueng Susoh menjadikannya sebagai titik fokus yang signifikan dalam jalur perdagangan rempah-rempah dunia sejak abad ke-17.

Secara geografis, Pulau Kayu, yang saat ini dikenal sebagai Gampong Pulau Kayu, Kecamatan Susoh, Kabupaten Aceh Barat Daya, sebenarnya bukan pulau utuh seperti namanya. Lebih tepatnya, Pulau Kayu adalah tanjung yang menjorok ke laut dengan garis pantai yang sangat strategis, menghadap langsung ke jalur pelayaran rempah-rempah dari Timur ke Barat.

Dahulu, nama “Pulau Kayu” merujuk pada banyaknya pohon besar di daerah tersebut, yang menjadi ciri khas dari pelabuhan alami yang terlindung dan kaya akan hasil hutan, termasuk kayu keras tropis. Di peta kolonial abad ke-19, Pulau Kayu sering disebut sebagai pelabuhan kecil namun aktif, menjadi tempat singgah penting bagi kapal-kapal asing yang berlayar melalui jalur perdagangan lada dan rempah dari pesisir barat Sumatra.

Sejarah ekonomi dan politik Pulau Kayu menyebutkan bahwa tempat ini memiliki peran penting dalam jaringan pelabuhan lada dunia sejak awal abad ke-19. Kawasan ini tercatat dalam “Ashmore Map of 1821”, peta pelabuhan dan pasar lada yang dibuat oleh Kapten Samuel Ashmore, pelaut Irlandia-Australia. Pulau Kayu menjadi salah satu pelabuhan lada utama di pesisir barat Sumatra bersama dengan Meulaboh, Kuala Batu, Susoh, Meukek, Tapaktuan, Trumon, dan Singkil.

Pulau Kayu juga merujuk pada sosok Po Adam, atau lebih dikenal dengan Teuku Lambada Adam pada dekade awal abad ke-19. Po Adam muncul sebagai tokoh penting dalam diplomasi, perdagangan, dan konflik antara Aceh dengan kekuatan maritim dunia, terutama dengan Amerika Serikat. Ia dikenal sebagai Syahbandar Pulau Kayu yang sangat berpengaruh dan memiliki peran kunci dalam sejarah perdagangan lada di kawasan tersebut.

Rumah Po Adam, yang berada di tepi Krueng Susoh, digambarkan sebagai rumah berpalisade dengan struktur mirip rumah adat Aceh. Po Adam sendiri belajar di permukiman Inggris di Padang dan menjadi sukses sebagai pedagang pantai yang menjalin hubungan erat dengan pemerintah Aceh dan perdagangan maritim. Ia membangun jaringan komersial langsung dengan kota-kota pelabuhan di Amerika seperti Salem, Boston, dan New York, menciptakan simpul dagang global yang independen dari kesultanan Aceh dan kolonial Belanda.

Po Adam juga terlibat dalam upaya membebaskan Pulau Kayu dari ketergantungan pada jalur tradisional lada. Ia membangun kanal baru, Aie Bakali, sebagai jalur pengiriman lada langsung dari hulu ke pesisir Pulau Kayu. Upayanya sukses, dan Pulau Kayu menjadi salah satu bandar lada utama di Pantai Barat Aceh. Namun, Po Adam sering kali menghindari kewajiban membayar pajak kepada Sultan Aceh, memilih untuk memfasilitasi perdagangan yang bebas dari campur tangan pemerintah.

Po Adam merupakan tokoh yang menarik dalam sejarah maritim Aceh, merupakan perpaduan antara pemimpin, pedagang, dan diplomat. Keterlibatannya dengan pedagang Amerika, rolnya dalam insiden Friendship, dan hubungannya dengan kotapraja Salem, Amerika Serikat, menambah warna dalam potret sejarah Pulau Kayu. Hubungan antara Po Adam dan kota pelabuhan Salem, yang ditandai dengan saling ketergantungan dalam perdagangan lada, menandakan betapa pentingnya peran Po Adam sebagai penghubung antara dua dunia.

Kisah hidup Po Adam menunjukkan bagaimana sejarah lokal yang mungkin terlupakan berperan dalam relasi global. Hubungan dagangnya dengan Amerika Serikat, peran pentingnya dalam perdagangan lada, dan interaksi dengan pemerintah Aceh menjadikan Po Adam sebagai figur tak terlupakan dalam sejarah maritim Aceh.[]}

Source link

Exit mobile version