Masakan khas Jawa, terutama dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, dikenal karena cita rasanya yang manis. Tidak hanya pada lauk-pauk, bahkan sambal dan sayur tumis dari daerah ini memiliki rasa manis yang khas. Hal ini terkait erat dengan sejarah, budaya, dan kondisi alam di Pulau Jawa.
Menurut Prof. Bani Sudardi, dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, masyarakat Jawa keraton (Solo dan Yogyakarta) dikenal paling menyukai rasa manis karena melihatnya sebagai simbol kenikmatan dan keharmonisan. Filosofi dalam budaya keraton memandang rasa manis sebagai representasi kebaikan dan keberkahan.
Kondisi alam di Pulau Jawa, khususnya pesisir, mendukung pertumbuhan pohon kelapa. Dari nira kelapa diolah menjadi gula merah atau gula Jawa, yang banyak digunakan dalam berbagai masakan dan minuman di daerah tersebut. Penggunaan gula kelapa ini membuat rasa manis menjadi bagian tak terpisahkan dari kuliner Jawa.
Sejarah kolonial juga memengaruhi dominasi rasa manis dalam masakan Jawa. Pada masa penjajahan Belanda, sistem tanam paksa di Pulau Jawa memicu produksi gula yang menjadikan Jawa sebagai produsen utama di Asia Tenggara. Ratusan pabrik gula bermunculan, dan penggunaan gula meluas dalam masakan sehari-hari.
Rasa manis dalam masakan Jawa bukan hanya sekadar cita rasa, tetapi juga simbol keindahan, kasih sayang, dan kebahagiaan. Hidangan manis sering disajikan dalam upacara adat dan momen bahagia sebagai simbol keberkahan. Makanan manis khas Jawa antara lain Gudeg Jogja, Selat Solo, dan Gethuk Goreng yang terkenal dengan cita rasanya yang manis dan lezat.
Kesenian dan tradisi Jawa juga sering menggambarkan rasa manis sebagai lambang harmoni dan kasih sayang antara manusia dan alam. Dari filosofi kehidupan hingga warisan kerajaan, rasa manis telah menjadi identitas kuliner Jawa yang lestari hingga kini. Dalam setiap gigitan makanan, rasa manis ini mengingatkan bahwa budaya bisa tercermin.
