JAKARTA RAYA – Setelah mengadu ke posko pengaduan Lapor Mas Wapres, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) Perjuangan melanjutkan laporannya dengan mendatangi Istana Negara. Mereka mendesak Presiden Prabowo untuk mencabut Kepres tentang Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang diduga sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan.
“Kami datang ke Istana Negara untuk mengajukan permohonan audiensi dengan Presiden Prabowo, karena beliau sendiri menegaskan bahwa pemimpin sejati harus bekerja untuk rakyat, bukan menjadikan rakyat sebagai korban di saat kesulitan,” ujar Rachma Fitriati, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, saat ditemui di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, pada Jumat (15/11/2024).
Muhammad Jufri Sade, seorang PNS yang telah mengabdi selama 17 tahun di Timor-Timur sebagai tenaga kesehatan, juga mengingatkan tentang pidato Presiden Prabowo yang menekankan bahwa pemimpin yang baik harus bekerja untuk rakyat. “Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang rakyatnya merdeka, bebas dari ketakutan,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Imelda Retna Weningsih, Komisioner KTKI yang juga mewakili Asosiasi Perguruan Tinggi Rekam Medis dan Manajemen Informasi Kesehatan, mengutip pernyataan Prabowo dalam bukunya Kepemimpinan Militer (2020), “Prajurit Anda akan setia kepada Anda, jika Anda setia kepada mereka.” Menurutnya, hal ini seharusnya menjadi prinsip dalam mengelola lembaga negara, termasuk dalam hal perlakuan terhadap tenaga kesehatan.
Akhsin Munawar, Komisioner KTKI yang pensiun dini sebagai PNS di Provinsi Jambi, menegaskan kekecewaannya. “Kami yang telah berperan penting dalam menerbitkan 1,6 juta Surat Tanda Registrasi atas nama Menteri Kesehatan, malah diperlakukan seperti sampah oleh Kemenkes,” katanya.
Her Basuki, Komisioner KTKI sekaligus pengurus PPNI, mengkritisi keputusan Kemenkes yang membubarkan KTKI dan membentuk KKI hanya dalam waktu 8 hari. “Ini sangat terburu-buru.
Biasanya, pembentukan lembaga non-struktural membutuhkan waktu minimal 6 bulan hingga 1 tahun,” ujarnya.
Baequni, Komisioner KTKI yang juga Dosen Senior UIN Syarif Hidayatullah, menyebutkan bahwa dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sangat jelas. “Menkes diduga menunjuk Drg. Arianti Anaya, mantan Dirjen Tenaga Kesehatan yang sudah pensiun sejak 1 Oktober 2024, sebagai Ketua KKI. Yang lebih parah, Arianti juga terlibat dalam Panitia Seleksi KKI, yang berpotensi melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ungkap Baequni.
Ismail, perwakilan KTKI dari profesi transfusi darah, mengkritisi penunjukan Arianti Anaya sebagai Ketua KKI. “Eks-Dirjen Tenaga Kesehatan ini sudah purna bhakti sejak 1 Oktober 2024, namun justru dilantik pada 14 Oktober 2024. Selain itu, ia juga terlibat dalam Panitia Seleksi dan menjadi saksi dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 senilai Rp 3,03 triliun di Kemenkes. Ini jelas menunjukkan ketidakberesan dalam proses pengangkatan tersebut,” tegasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menegaskan bahwa KKI seharusnya bekerja secara independen sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. “KKI tidak berada di bawah kementerian. Sebagai lembaga non-struktural, KKI bertanggung jawab langsung kepada Presiden,” ujarnya.
Rahmaniwati, seorang pensiunan Poltekkes Kemenkes yang kini mewakili profesi Teknisi Gigi, juga menuntut agar Kepres 69/M/2024 dan PMK 12/2024 dibatalkan. “Jika tidak dibatalkan, kebijakan ini akan menjadi preseden buruk bagi lembaga non-struktural lainnya di Indonesia,” tegasnya.
KTKI Perjuangan juga mengingatkan pentingnya prinsip Asta Cita yang disuarakan oleh Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. “Kami berharap Kemenkes dapat menjadi pengayom bagi seluruh tenaga kesehatan profesional, bukan malah membuang kami seperti sampah setelah kami bekerja keras untuk negara,” ujar Tri Moedji Hartiningsih, anggota KTKI yang kini beralih menjadi driver online setelah dipecat secara sepihak oleh Kemenkes.
Sri Sulistyati, Komisioner KTKI yang mewakili Fasilitas Pelayanan Kesehatan dari Konsil Kefarmasian, menambahkan, “Kemenkes melakukan PHK massal tanpa mitigasi yang jelas, berdalih dengan PMK 12/2024 yang diduga maladministrasi. Kebijakan ini bertentangan dengan UU No. 17/2023 Pasal 450 dan PP 28/2024 Pasal 1167. Padahal, Kemenkes sendiri yang mengharuskan kami untuk berdomisili di Jakarta dan tidak boleh rangkap jabatan.”
Acep Effendi, Komisioner KTKI yang pensiun dini, mempertanyakan mengapa beberapa anggota KKI masih merangkap jabatan sebagai Direktur RSCM dan Direktur RSUD Lampung. “Kenapa mereka tidak diminta untuk mundur dari status PNS seperti yang diwajibkan pada anggota KTKI sebelumnya? Ini jelas tidak adil dan mengganggu rasa keadilan,” pungkas Acep.
KTKI Perjuangan mendesak Presiden Prabowo untuk segera mencabut Kepres 69/M/2024 dan PMK 12/2024 yang dianggap cacat administrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Pembatalan kebijakan ini diharapkan dapat menegakkan keadilan bagi tenaga kesehatan dan menjaga prinsip Asta Cita yang disuarakan oleh Presiden Prabowo. (hab)
Penulis : Hadits Abdillah
Editor : Hadits Abdillah