JAKARTA RAYA – Sejumlah anggota Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) mengunjungi Posko Pengaduan “Lapor Mas Wapres” untuk melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) terhadap kebijakan terbaru mereka. Dalam laporan tersebut, anggota KTKI menuntut agar Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 12/2024 dan Keputusan Presiden (Keppres) No. 69/M/2024 dicabut karena dianggap merugikan banyak pihak, terutama tenaga kesehatan.
Nelly Frida Hursepuny dan Rachma Fitriati, dua Komisioner KTKI-Perjuangan, mengungkapkan keluhan mereka tentang kebijakan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang memberhentikan sejumlah anggota KTKI secara massal tanpa prosedur mitigasi yang jelas. Mereka juga menyebut seleksi anggota baru untuk membentuk Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) yang terindikasi bermuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Kami datang ke Mas Wapres untuk mengadukan dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Kami ingin beliau tahu betapa kedzaliman yang kami alami,” ujar Nelly dalam pernyataan yang disampaikan di Kawasan Kebon Sirih, Jakarta, pada Jumat (15/11/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Rachma Fitriati, yang juga seorang Dosen di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, menyatakan bahwa kebijakan ini telah merendahkan martabat tenaga kesehatan dan menganggap bahwa PMK 12/2024 serta Keppres 69/M/2024 harus segera dibatalkan untuk mencegah preseden buruk di lembaga non-struktural pemerintah.
“Pemimpin sejati bekerja untuk rakyat, bukan malah menjadikan mereka korban di saat kesulitan. Demi menegakkan keadilan, PMK 12/2024 dan Keppres 69/M/2024 harus dibatalkan agar tidak menjadi preseden buruk bagi lembaga non-struktural lainnya di Indonesia,” tegas Rachma.
Dalam keterangan yang lebih lanjut, Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, SH., LL.M., MBA, Senator DKI Jakarta, menyebut bahwa kebijakan tersebut juga melanggar prinsip non-retroaktif dalam hukum. Menurutnya, undang-undang baru, seperti UU No. 17/2023 tentang Kesehatan, seharusnya hanya berlaku untuk masa depan dan tidak untuk merubah keputusan-keputusan yang sudah ada sebelumnya, seperti Keppres 31/M/2022 yang mengangkat KTKI. “Ini namanya mengusik rasa keadilan. Hukum itu dibuat untuk menciptakan keadilan, guna mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan melindungi hak-hak individu,” ungkap Dailami.
Keppres 69/M/2024 yang memutuskan pembentukan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) juga menjadi sorotan karena Ketua KKI yang dipilih adalah seorang pensiunan Direktur Jenderal Tenaga Kesehatan yang juga terlibat dalam Panitia Seleksi anggota KKI. Lebih jauh lagi, beberapa anggota KKI yang baru dilantik juga terindikasi rangkap jabatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan Direktur Rumah Sakit, yang menambah kekhawatiran tentang potensi konflik kepentingan.
“Ini jelas penyalahgunaan wewenang, karena pejabat tersebut baru pensiun dari Kemenkes pada 1 Oktober 2024, tetapi tetap dilantik pada 14 Oktober 2024, padahal yang bersangkutan juga terlibat dalam proses seleksi. Ini pelanggaran berat dalam prinsip Good Public Governance,” tegas Ismail, salah satu anggota KTKI yang juga mewakili profesi teknisi pelayanan darah.
Selain itu, anggota KTKI lainnya, Tri Moedji Hartiningsih, yang kini menjadi driver online setelah di-PHK oleh Kemenkes, menyatakan bahwa keputusan tersebut sangat tidak adil bagi mereka yang telah mengabdikan diri bertahun-tahun untuk dunia kesehatan di Indonesia. “Asta Cita jangan sekadar jargon, omon-omon, malah disalahgunakan oleh oknum pejabat Kemenkes untuk melanggengkan kekuasaannya,” ungkap Tri Moedji, yang juga menyesalkan Kemenkes yang mengabaikan asas keterbukaan dan kepatutan dalam proses pengambilan keputusan.
Dari laporan yang mereka ajukan, diketahui bahwa KTKI-P telah melaporkan masalah ini ke beberapa lembaga, seperti Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Informasi Pusat, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan untuk mencari keadilan lebih lanjut.
Dalam pernyataan terakhir, Her Basuki, pengurus PPNI dan anggota KTKI, menegaskan bahwa mereka hanya menginginkan Kemenkes tetap setia pada visi Asta Cita untuk memastikan kesehatan yang layak dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. “Kami ingin Kemenkes kembali menjadi pelindung dan pembimbing rakyat, bukan sewenang-wenang memutuskan nasib kami,” ungkap Her Basuki dengan penuh semangat.
KTKI-P menegaskan bahwa pengabdian mereka selama ini untuk Indonesia tidak akan sia-sia, dan mereka berharap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dapat turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini demi memastikan kesejahteraan tenaga kesehatan tetap menjadi prioritas utama. (hab)