Insiden tragis yang terjadi di sebuah sekolah menengah kejuruan di Koja, Jakarta Utara, membuat heboh dunia pendidikan Indonesia. Seorang siswa menjadi korban penyiraman air keras oleh sekelompok pelajar pada Jumat malam, 1 Agustus 2025, mengakibatkan luka parah di wajahnya. Tindakan keji ini bukan sekadar kenakalan remaja, melainkan kriminalitas yang terencana, sadis, dan seharusnya dianggap sebagai kejahatan berat.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan bahwa insiden ini menggambarkan kegagalan sistem pendidikan formal dan lingkungan sosial secara keseluruhan. Pandangannya didukung oleh Adriano Rusfi, seorang pakar pendidikan yang menyoroti kemerosotan pola pengasuhan di rumah dan kontrol lingkungan sosial yang lemah.
Seiring dengan perkembangan zaman pasca-Revolusi Industri, konsep remaja masa kini dianggap belum matang secara akal dan moral. Dalam perspektif Islam, kematangan bukan hanya diukur dari baligh, tetapi juga dari kemampuan akal untuk memahami konsekuensi dan tanggung jawab. Brak baligh dan kurangnya pemahaman akan konsekuensi perbuatan bisa menyebabkan perilaku destruktif, seperti penyiraman air keras.
Perilaku kriminal oleh pelajar seharusnya tidak hanya dilihat sebagai ‘kenakalan remaja’. Tindakan yang merugikan orang lain tanpa penyesalan adalah kejahatan serius. Perlindungan hukum harus ditegakkan tanpa meninggalkan pendekatan edukatif dan preventif yang menyeluruh.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu dilakukan reformasi menyeluruh dalam sistem pendidikan. Sekolah harus menjadi ruang pembinaan karakter dan mental, bukan hanya tempat untuk mengejar angka. Kurikulum harus mencakup pendidikan nilai-nilai humanis seperti empati, tanggung jawab, dan solidaritas, yang harus diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari.
Pemantauan terhadap akses bahan berbahaya seperti air keras perlu diperketat, dengan regulasi yang tegas dan pengawasan yang ketat. Peran keluarga dan masyarakat juga sangat penting dalam membentuk karakter anak. Sekolah pun harus kembali ke tujuan asalnya sebagai lembaga pembentukan manusia utuh, bukan hanya tempat mendapatkan predikat akademik.
Keempat langkah tersebut memang tidak mudah, namun perlu dilakukan demi masa depan bangsa yang lebih baik. Tragedi di Koja harus menjadi momentum untuk melakukan perubahan secara menyeluruh. Kita semua bertanggung jawab untuk melindungi generasi muda dari kekerasan dan melahirkan masyarakat yang lebih baik.