29.3 C
Jakarta
Friday, November 22, 2024

Indonesia Tidak Baik-baik Saja, Menelisik Krisis Yang Menggerogoti Negeri

Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang melimpah, sering kali dianggap sebagai negeri yang penuh potensi dan harapan. Namun, di balik semua keindahan dan janji kemakmuran tersebut, ada realitas yang jauh dari gemerlap.

Jika kita telusuri lebih dalam, Indonesia sedang berada di ambang krisis yang menggerogoti berbagai aspek kehidupan—ekonomi, politik, lingkungan, hingga sosial. Dengan menggali lebih dalam, kita akan menemukan bahwa Indonesia tidak baik-baik saja.

adam
Adam Sukiman (Foto: Istimewa/ Nasional.news)

Ekonomi Indonesia, yang pernah digadang-gadang sebagai salah satu yang terkuat di Asia Tenggara, kini tengah menghadapi tekanan berat. Pandemi COVID-19 yang melanda dunia selama lebih dari dua tahun telah memperparah kondisi ekonomi yang sudah rapuh. Meski pemerintah telah mengumumkan berbagai paket stimulus untuk meredam dampak pandemi, hasilnya masih jauh dari memuaskan.

Pertumbuhan ekonomi yang lambat, peningkatan angka pengangguran, serta ketimpangan yang semakin melebar menjadi gambaran nyata dari krisis ini. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai sekitar 4,5%, jauh dari target yang dicanangkan pemerintah. Sementara itu, angka pengangguran meningkat drastis, terutama di kalangan anak muda yang semakin sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.

Krisis ekonomi ini juga diperparah dengan ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola utang negara yang terus membengkak. Utang luar negeri Indonesia kini mencapai lebih dari 30% dari PDB, sebuah angka yang mengkhawatirkan. Beban utang yang semakin berat ini mengancam stabilitas ekonomi jangka panjang dan mempersulit ruang fiskal untuk melakukan pembangunan yang lebih merata.

Ketidakstabilan Politik dan Laku Korupsi

Selain krisis ekonomi, Indonesia juga tengah menghadapi ketidakstabilan politik yang tak kalah serius. Di satu sisi, demokrasi di Indonesia masih terbilang muda, baru sekitar dua dekade berjalan setelah era Reformasi. Namun, selama kurun waktu tersebut, kita menyaksikan berbagai dinamika politik yang tidak selalu mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan sebaliknya.

Polarisasi politik yang semakin tajam, terutama jelang pemilu, telah memperburuk situasi. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi wakil rakyat, sering kali lebih mementingkan kepentingan kelompok atau individu tertentu. Politik identitas juga kerap dimainkan untuk meraih dukungan, meski hal ini justru merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah.

Di sisi lain, korupsi yang merajalela semakin memperparah krisis ini. Menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi Indonesia berada pada peringkat yang memprihatinkan. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara dan politisi semakin sering terungkap, namun penanganannya sering kali setengah hati. Ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi.

Ketidakstabilan politik dan korupsi yang sistemik ini menjadi penghalang besar bagi upaya pembangunan yang berkelanjutan. Tanpa penanganan yang serius, Indonesia akan terus terjebak dalam lingkaran setan ketidakstabilan yang sulit dipecahkan.

Sampai Masalah Ekologi

Indonesia, dengan kekayaan alam yang luar biasa, seharusnya menjadi salah satu negara yang paling peduli terhadap lingkungan. Namun, kenyataan yang kita hadapi justru sebaliknya. Krisis ekologi yang mengancam Indonesia kini sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan.

Hutan-hutan Indonesia, yang merupakan paru-paru dunia, terus mengalami deforestasi dalam skala besar. Data dari Forest Watch Indonesia menunjukkan bahwa setiap tahun, Indonesia kehilangan lebih dari 1 juta hektar hutan tropisnya. Penyebab utama dari deforestasi ini adalah ekspansi industri kelapa sawit dan penebangan liar. Akibatnya, kerusakan habitat satwa liar, degradasi lahan, dan perubahan iklim semakin tidak terkendali.

Selain itu, pencemaran lingkungan juga menjadi masalah serius. Sungai-sungai yang dulu jernih kini dipenuhi sampah dan limbah industri. Laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan bagi jutaan nelayan, kini tercemar oleh plastik dan limbah kimia. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung mengalami polusi udara yang parah, yang berdampak langsung pada kesehatan masyarakat.

Yang lebih parah, pemerintah tampaknya belum memiliki strategi yang jelas untuk menangani krisis lingkungan ini. Kebijakan yang ada sering kali tumpang tindih dan tidak konsisten, sehingga upaya pelestarian lingkungan tidak berjalan efektif. Krisis ekologi ini bukan hanya mengancam kelangsungan hidup satwa dan tumbuhan, tetapi juga manusia. Banjir, longsor, kekeringan, dan berbagai bencana alam lainnya yang semakin sering terjadi adalah alarm keras bahwa kita sedang berada di jalur yang salah.

Krisis yang dialami Indonesia tidak hanya bersifat makro, tetapi juga sangat terasa di tingkat akar rumput. Ketimpangan sosial yang semakin melebar menciptakan jurang yang dalam antara si kaya dan si miskin. Meskipun ada kemajuan dalam pengentasan kemiskinan, namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Krisis ini diperparah dengan masalah kesejahteraan yang belum terselesaikan. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang layak masih menjadi tantangan besar, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, sementara fasilitas kesehatan di banyak daerah masih jauh dari memadai. Bahkan, di kota-kota besar, kesenjangan akses terhadap layanan dasar ini masih sangat terlihat.

Dalam banyak kasus, pembangunan yang dilakukan pemerintah sering kali tidak merata, lebih banyak terpusat di Jawa dan Sumatera, sementara daerah lain seperti Papua, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Nusa Tenggara masih tertinggal. Hal ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat daerah yang merasa diabaikan. Ketidakadilan ini pada akhirnya menimbulkan ketegangan sosial yang bisa memicu konflik.

Krisis Kepercayaan

Salah satu dampak terbesar dari berbagai krisis yang melanda Indonesia adalah krisis kepercayaan. Masyarakat semakin sulit mempercayai pemerintah dan institusi negara lainnya. Korupsi, ketidakadilan, dan ketidakmampuan pemerintah dalam menangani berbagai masalah telah menurunkan legitimasi pemerintah di mata rakyat.

Krisis kepercayaan ini tercermin dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah meningkatnya aksi-aksi protes dan demonstrasi di berbagai daerah. Masyarakat, terutama kaum muda, merasa bahwa suara mereka tidak didengar, dan kebijakan pemerintah tidak berpihak pada mereka. Ini adalah tanda bahwa ada jurang yang semakin lebar antara rakyat dan negara.

Krisis kepercayaan ini adalah tantangan besar bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Demokrasi hanya bisa berjalan dengan baik jika ada kepercayaan yang kuat antara pemerintah dan rakyatnya. Jika tidak, yang terjadi adalah disintegrasi sosial dan politik yang dapat mengancam stabilitas negara.

Jalan Keluar

Setelah melihat berbagai krisis yang dihadapi bangsa kita hari ini, pertanyaan besar yang muncul adalah, apa yang bisa kita lakukan? Tentu saja, solusi dari masalah-masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan mudah dan cepat. Namun, setidaknya ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mengatasi krisis ini.

Pertama, pemerintah perlu memperkuat institusi hukum dan memberantas korupsi secara serius. Ini adalah langkah pertama yang harus dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan rakyat. Penegakan hukum yang tegas dan transparan akan menjadi sinyal kuat bahwa pemerintah berkomitmen untuk memperbaiki keadaan.

Kedua, pemerintah harus lebih fokus pada pembangunan yang merata dan inklusif. Program-program pembangunan harus menjangkau seluruh wilayah Indonesia, bukan hanya terpusat di pulau-pulau besar. Ini penting untuk mengurangi ketimpangan sosial dan memastikan bahwa semua warga negara mendapatkan manfaat yang sama.

Ketiga, dalam menghadapi krisis lingkungan, Indonesia perlu segera menerapkan kebijakan yang lebih tegas dalam pelestarian alam. Moratorium terhadap deforestasi harus benar-benar dijalankan, dan sanksi bagi pelanggar harus ditegakkan. Selain itu, program-program rehabilitasi lingkungan harus lebih diperluas dan didukung oleh teknologi yang memadai.

Keempat, dalam bidang ekonomi, perlu ada diversifikasi ekonomi yang lebih baik. Indonesia tidak bisa terus-menerus bergantung pada ekspor komoditas mentah. Pemerintah harus mendorong pengembangan industri yang lebih bernilai tambah dan menciptakan lapangan kerja yang lebih luas.

Kelima, yang tak kalah penting, adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Demokrasi bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi juga tentang keterlibatan rakyat dalam menentukan arah pembangunan. Pemerintah perlu lebih sering berdialog dengan masyarakat dan mendengarkan aspirasi mereka.

Sekali lagi, kita tidak boleh kehilangan harapan. Indonesia masih punya waktu untuk bangkit dan memperbaiki keadaan. Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah terutama pada kepemimpinan Prabowo – Gibran mendatang dan dengan dukungan penuh dari masyarakat, kita bisa melewati krisis ini dan menuju Indonesia yang lebih baik, adil, dan sejahtera.

Kita semua memiliki peran dalam upaya ini. Baik sebagai warga negara, aktivis, maupun pemimpin, kita harus bekerja sama untuk mewujudkan visi Indonesia yang lebih baik. Karena pada akhirnya, Indonesia adalah rumah kita, dan kita semua bertanggung jawab untuk menjaganya agar tetap berdiri kokoh dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.[]

*) Adam Sukiman, penulis adalah aktifis komunitas Edukator Masyarakat Muda Jakarta (EMJ) dan intern researcher di Progressive Studies and Empowerment Center (Prospect)

Source link

Related Articles

Stay Connected

0FansLike
0FollowersFollow
0SubscribersSubscribe

berita terbaru