Pakar Hukum Tata Negara Asrullah telah memberikan pandangannya terkait putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang menyoroti masalah kompleksitas dalam menjaga keseimbangan antara inovasi konstitusional dan kepatuhan terhadap UUD NRI 1945. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan keterorganisasian pelaksanaan pemilu serentak, Asrullah mencatat bahwa syarat transisi 2-2,5 tahun telah menciptakan paradoks konstitusional yang tidak sejalan dengan Pasal 22E UUD NRI 1945.
Putusan MK ini menyoroti persoalan pada Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada yang dinilai bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Secara substansi, putusan MK memandatkan adanya masa transisi antara Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal dengan rentang waktu tertentu, namun adanya syarat batas waktu transisi yang ditetapkan MK telah menimbulkan cacat konstitusional yang signifikan, menurut Asrullah.
Analisis konstitusionalitas putusan MK juga menyoroti bahwa ketentuan syarat transisi yang ditetapkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI 1945. Masa transisi 2-2,5 tahun ini dapat memperpanjang masa jabatan anggota DPRD di luar periode 5 tahun yang diamanatkan, menciptakan ketidakpastian hukum yang signifikan.
Masalah ketatanegaraan yang muncul dari putusan MK ini menjadi sorotan penting, terutama terkait pengisian masa jabatan anggota DPRD selama masa jeda 2-2,5 tahun yang tidak memiliki dasar hukum dalam UUD NRI 1945. Asrullah mendorong MK untuk memberikan penjelasan resmi kepada pembentuk undang-undang guna memastikan kepatuhan terhadap konstitusi dan mempertahankan integritas MK sebagai lembaga peradilan konstitusional.
Peran MK sebagai Negative atau Positive Legislator juga menjadi fokus pembahasan, dengan penekanan bahwa norma baru yang dibuat MK tidak boleh bertentangan dengan ketentuan UUD NRI 1945. Dalam konteks kebijaksanaan konstitusional, MK diharapkan untuk mempertimbangkan prinsip Lex Clara Non Sunt Interpretanda, artinya jika suatu ketentuan hukum sudah jelas, tidak perlu dilakukan penafsiran lebih lanjut yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum baru.