Bayangkan, sejumlah uang yang luar biasa besar, Rp 60 miliar, seandainya diberikan kepada seorang pekerja dengan gaji Rp 10 juta per bulan. Uang sebanyak itu mampu menopang kehidupannya selama 625 tahun tanpa perlu khawatir tentang kekurangan. Fantastis memikirkan betapa besar pengaruh uang sebesar itu bisa membawa perubahan bagi ribuan orang miskin ekstrem di negara ini. Namun, ironisnya uang sebanyak itu digunakan sebagai alat transaksi untuk membeli keputusan hakim. Kejaksaan Agung telah menetapkan empat hakim sebagai tersangka penerima suap senilai Rp 60 miliar, yakni Muhammad Arif Nuryanta, Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom—nama-nama yang seharusnya merupakan lambang keadilan dan integritas, bukan korupsi.
Arti dari kata “hakim” sejatinya berasal dari akar kata Arab, hakama (حَكَمَ), yang berarti memutuskan, menetapkan, atau memberi keputusan. Sebagai tokoh yang diharapkan menjadi pelindung keadilan, pembuat keputusan yang bijaksana, dan penjaga hukum bagi masyarakat, hakim seharusnya melambangkan keadilan dan kebenaran. Namun, hari ini kita menyaksikan empat hakim yang seharusnya menjadi “arbitrator keputusan yang adil” malah menjual integritas dan otoritas mereka demi keuntungan materi. Hal ini bukan saja merupakan kasus korupsi belaka, melainkan sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai fundamental yang seharusnya mereka junjung tinggi.
Uang senilai Rp 60 miliar seharusnya tidak menjadi ukuran dari nilai sebuah keputusan yang diambil oleh hakim di negara ini. Keputusan yang dihasilkan oleh seorang hakim seharusnya dipandang dari perspektif kebijaksanaan, keadilan, dan moralitas, bukan dari nilai material. Ketika uang menjadi alat yang menentukan keputusan di jalannya peradilan, maka arti hukum akan terkikis. Hukum seharusnya menjadi landasan yang teguh, namun ketika hukum dianggap sebagai suatu barang dagangan yang dapat dibeli oleh mereka dengan kekuatan finansial paling besar, maka rakyat kecil akan terabaikan. Bagaimana mungkin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh warga Indonesia jika mereka yang seharusnya menjadi penegak dan penjaga hukum terjebak dalam belitan nafsu duniawi?
Dari kasus ini, kita semua harus mengambil hikmah dan pelajaran. Pemerintah dan DPR harus mengupayakan reformasi yang menyeluruh dalam sistem peradilan. Perlu tercipta seleksi hakim yang lebih ketat, pengawasan yang lebih transparan, serta perhatian khusus terhadap pendidikan karakter bagi penegak hukum. Kasus ini hendaknya juga menjadi renungan bagi kita semua, betapa mudahnya idealisme seseorang runtuh ketika dihadang oleh godaan materi. Keempat hakim tersebut mungkin hanya sedikit contoh dari banyak pejabat, politisi, atau pemimpin yang mengawali karier mereka dengan kesucian hati namun terlena dengan kepentingan pragmatis.
Janganlah biarkan keadilan mati di negeri ini. Kita tengah memiliki kesempatan untuk memperbaiki keadaan, selama kita semua mau melakukan introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Keadilan sejati tidak dapat dibeli dengan uang, namun harus diperjuangkan dengan integritas, pikiran jernih, dan tekad yang kuat. Mari kita semua bertanya pada diri sendiri, apakah kita siap untuk menjadi bagian dari solusi atau malah turut serta dalam menciptakan masalah? Keadilan adalah amanah bersama, apabila hakim saja bisa jatuh, kepada siapakah lagi kita bisa percayakan? Keadilan adalah soal hati nurani, yang tak diperjualbelikan.